BERITASIBER.COM | LAMONGAN – Gagasan besar tentang Koperasi Merah Putih yang diusung Presiden Prabowo Subianto membuka ruang refleksi tentang arah pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam konteks pemberdayaan desa.

Dengan target pembentukan 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia dan dukungan anggaran sebesar Rp 400 triliun, ini bukan hanya program ekonomi biasa, tetapi proyek rekonstruksi sistem ekonomi rakyat dari akar rumput.
Sebagai akademisi dan pegiat ekonomi kerakyatan, saya melihat bahwa semangat dasar dari Koperasi Merah Putih sangat relevan dengan prinsip ekonomi Pancasila.
Namun, seperti banyak program berskala besar lainnya, keberhasilan tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran disediakan, melainkan seberapa kuat partisipasi rakyat dibangun, seberapa kokoh sistem pengelolaan disusun, dan seberapa jujur semua pihak menjaga niat awalnya memakmurkan rakyat.
Harapan Besar dari Desa
Koperasi Merah Putih membawa angin segar bagi desa-desa yang selama ini menjadi penonton dalam pesta pembangunan nasional. Ketika kota tumbuh sebagai pusat pertumbuhan, desa kerap tertinggal sebagai penyuplai tenaga kerja, bahan pangan, dan bahan mentah.
Dengan koperasi sebagai instrumen pengelolaan ekonomi lokal, maka desa diberi peran sebagai produsen sekaligus pemilik nilai tambah.
Koperasi juga menjawab problem klasik masyarakat desa: ketergantungan pada tengkulak, tekanan harga pasar, hingga jeratan pinjaman online ilegal.
Koperasi memberi ruang bagi masyarakat untuk bersatu, menabung bersama, berproduksi bersama, dan menikmati hasilnya bersama.
Di sinilah nilai gotong royong menjadi bukan sekadar slogan, tetapi praktik nyata yang menghasilkan kesejahteraan.
Namun, untuk mewujudkan koperasi sebagai kekuatan ekonomi yang berkelanjutan, tidak cukup hanya membentuk lembaga dan menyuntikkan modal.
Yang paling penting adalah membangun jiwa koperasi di tengah masyarakat. Tanpa semangat kolektivitas, koperasi hanyalah gedung kosong yang perlahan akan runtuh oleh kepentingan pribadi dan konflik internal.
Tantangan dari Pendekatan Instruktif
Salah satu kritik utama terhadap program ini adalah pendekatannya yang top-down. Pemerintah pusat memulai gagasan, merancang struktur, menetapkan target, dan menyalurkan anggaran. Sementara masyarakat desa sering kali hanya menjadi pelaksana atau bahkan sekadar penerima manfaat. Ini bertentangan dengan filosofi koperasi yang semestinya tumbuh dari kebutuhan dan kesadaran warga.
Sebagai perbandingan, koperasi-koperasi sukses di Indonesia seperti Koperasi Setia Kawan (KOSKA) di Nganjuk atau Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, semua berangkat dari inisiatif warga atau komunitas. Mereka tumbuh perlahan, belajar dari kegagalan, dan akhirnya menemukan model yang sesuai dengan karakter sosial dan ekonomi lokal.
Program Koperasi Merah Putih harus mampu belajar dari keberhasilan model semacam ini. Pemerintah bukan menjadi pengendali utama, tetapi fasilitator yang menyediakan ruang belajar, infrastruktur pendukung, serta perlindungan regulatif. Masyarakat harus diberi otoritas penuh untuk menentukan bentuk, skala, dan arah koperasinya sendiri.
Risiko Kebocoran dan Korupsi
Dengan alokasi dana Rp 400 triliun, risiko korupsi dan penyalahgunaan anggaran tentu tak bisa dihindarkan. Dalam banyak kasus sebelumnya, program pemberdayaan rakyat kerap menjadi proyek elite lokal, di mana dana rakyat dikelola oleh segelintir pihak tanpa akuntabilitas yang jelas.
Untuk itu, saya mendorong agar program Koperasi Merah Putih dibangun di atas fondasi transparansi dan pengawasan publik. Setiap koperasi harus memiliki sistem pelaporan keuangan digital yang bisa diakses oleh anggota maupun pemerintah. Audit internal dan eksternal perlu dilakukan secara berkala, dan pelanggaran harus ditindak tegas.