BERITASIBER.COM | LAMONGAN – Indonesia saat ini tengah menyiapkan diri menyongsong sebuah cita-cita besar: menjadi negara maju pada tahun 2045, tepat 100 tahun sejak kemerdekaan. Visi ini dikenal luas sebagai Indonesia Emas 2045.

Namun, di tengah semangat pembangunan dan transformasi digital yang terus didorong, muncul sebuah kekhawatiran yang patut menjadi perhatian seluruh elemen bangsa: tumbuhnya generasi muda yang terjebak dalam fenomena “brain rot” kondisi menurunnya kemampuan berpikir kritis, kehilangan fokus, dan dominasi gaya hidup instan akibat konsumsi berlebihan terhadap konten digital tanpa filter dan arah.
Fenomena ini tidak hanya menjadi ancaman terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi juga berpotensi menggerus pilar-pilar utama perekonomian nasional, khususnya sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Padahal, UMKM selama ini merupakan fondasi ekonomi kerakyatan dan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Ketika Digitalisasi Menjadi Pedang Bermata Dua
Kita tidak bisa menafikan bahwa teknologi telah membawa perubahan besar dalam lanskap ekonomi dan kehidupan masyarakat.
Digitalisasi menjadi tulang punggung percepatan layanan, efisiensi produksi, hingga transformasi pasar melalui platform daring dan media sosial. Generasi muda sebagai digital native pun seharusnya menjadi motor penggerak utama inovasi ini.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak anak muda yang lebih larut dalam tren-tren hiburan digital yang bersifat dangkal dan sesaat. Alih-alih menjadikan media sosial sebagai alat produktif, mereka justru menghabiskan waktu berjam-jam dalam konsumsi konten yang bersifat pasif dan tidak mendidik. Ini menandai kemunculan generasi dengan gejala “brain rot”—generasi yang cepat bosan, tidak tahan tekanan, kurang semangat berjuang, dan enggan berpikir kritis.
Dalam konteks ini, teknologi menjadi pedang bermata dua. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka digitalisasi justru menjadi jebakan yang memperlemah daya saing SDM Indonesia di tengah persaingan global.
Dampaknya Terhadap UMKM
Sektor UMKM selama ini menjadi garda depan perekonomian Indonesia. Kontribusinya mencapai lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap hampir 97 persen tenaga kerja nasional.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, banyak pelaku UMKM menghadapi tantangan dalam merekrut dan mempertahankan tenaga kerja muda yang memiliki integritas, kreativitas, dan daya tahan tinggi.
Banyak pemuda yang melamar kerja di sektor UMKM datang tanpa kesiapan mental, enggan belajar dari bawah, dan lebih memilih pekerjaan yang terlihat glamor di media sosial.
Sementara itu, pelaku UMKM juga dihadapkan pada tantangan regenerasi pengusaha muda yang benar-benar serius menekuni usaha secara konsisten. Banyak usaha rintisan anak muda yang tumbuh dengan cepat karena mengikuti tren, namun kemudian mati suri karena tidak dibangun dengan strategi yang matang.
Fenomena brain rot membuat generasi muda enggan mengembangkan inovasi yang mendalam dalam UMKM. Mereka lebih sibuk menciptakan gimmick viral daripada membangun fondasi usaha yang berkelanjutan.
Jika ini terus terjadi, maka sektor UMKM akan kesulitan dalam menciptakan inovasi dan melakukan ekspansi, yang pada akhirnya bisa mengganggu struktur ketahanan ekonomi nasional.
Bonus Demografi yang Terancam Menjadi Beban
Indonesia diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi pada periode 2030–2040, di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia non-produktif. Ini sejatinya adalah peluang emas untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika ditopang oleh SDM unggul. Jika tidak, ia justru bisa menjadi bencana demografi—jumlah besar angkatan kerja tanpa kualitas yang memadai.