BERITASIBER.COM | LAMONGAN – Pada awal tahun 2025, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah besar dengan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Efek Domino Penurunan BI Rate: Menyudutkan Rupiah, Menekan UMKM, dan Mengguncang Perekonomian Indonesia

Sebuah kebijakan yang seharusnya bisa merangsang pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong investasi dan konsumsi. Namun, keputusan tersebut membawa konsekuensi besar terhadap nilai tukar Rupiah, yang diperkirakan akan terus terdepresiasi hingga menembus angka 16.000 terhadap dolar Amerika Serikat.

Penurunan BI Rate ini menimbulkan dampak yang lebih luas, baik untuk perekonomian makro maupun sektor-sektor mikro seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sektor ekspor, serta pasar tenaga kerja yang semakin sempit.

Kebijakan BI Rate dan Dampaknya pada Nilai Tukar Rupiah

Penurunan BI Rate pada dasarnya bertujuan untuk merangsang kegiatan ekonomi domestik dengan cara mengurangi biaya pinjaman bagi perusahaan dan konsumen.

Namun, kebijakan ini sering kali memiliki dampak negatif terhadap mata uang lokal. Dalam kasus Indonesia, penurunan BI Rate menyebabkan tekanan lebih besar terhadap nilai tukar Rupiah, yang semakin melemah dan diperkirakan akan terus menembus angka 16.000 terhadap dolar Amerika Serikat.

Melemahnya Rupiah bukan hanya soal angka yang lebih tinggi ketika kita menukarkan mata uang lokal dengan mata uang asing. Ini juga mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia berada dalam posisi yang lebih lemah, mengingat mata uang yang terdepresiasi akan meningkatkan biaya impor barang dan bahan baku, yang pada gilirannya akan memicu inflasi.

Sektor-sektor yang bergantung pada bahan baku impor atau teknologi luar negeri akan merasakan dampaknya secara langsung, dan ini tentu mempengaruhi daya saing produk-produk dalam negeri.

Dampak pada UMKM

Salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh melemahnya Rupiah adalah UMKM, yang memiliki peran sangat penting dalam perekonomian Indonesia.

UMKM adalah penyumbang terbesar terhadap lapangan pekerjaan di Indonesia, dan mereka juga menjadi katalis utama dalam menyerap kekuatan konsumsi domestik.

Namun, banyak dari UMKM ini yang bergantung pada bahan baku impor untuk memproduksi barang atau menjalankan operasional mereka.

Dengan Rupiah yang semakin melemah, biaya impor bahan baku menjadi lebih mahal. Akibatnya, banyak pelaku UMKM yang harus menghadapi tekanan dalam mempertahankan harga jual mereka atau bahkan menghadapi potensi kerugian.

Di sisi lain, jika mereka menaikkan harga barang untuk mengimbangi biaya impor yang lebih tinggi, daya beli konsumen akan menurun, yang semakin menambah beban mereka.

Lebih jauh lagi, UMKM sering kali kekurangan akses terhadap pembiayaan yang murah dan mudah. Penurunan BI Rate seharusnya memberikan dorongan kepada sektor ini untuk mendapatkan pembiayaan dengan bunga yang lebih rendah.

Namun, dalam kenyataannya, banyak UMKM yang masih kesulitan dalam memperoleh kredit karena faktor seperti ketidakpastian pendapatan dan minimnya jaminan yang mereka miliki.

Dengan tekanan yang semakin besar pada daya beli masyarakat dan biaya produksi yang lebih tinggi, banyak UMKM yang terancam gulung tikar, atau setidaknya mengalami stagnasi dalam pertumbuhannya.

Sektor Ekspor yang Belum Stabil

Sementara itu, dampak dari penurunan BI Rate seharusnya dapat memberikan angin segar bagi sektor ekspor. Melemahnya Rupiah membuat produk-produk Indonesia lebih kompetitif di pasar internasional, karena harga jualnya menjadi lebih murah dalam denominasi mata uang asing.

Namun, meskipun ada potensi yang lebih besar di pasar ekspor, kenyataannya sektor ini masih menghadapi sejumlah tantangan.

Artikel Rekomendasi
Halaman:
12
Reporter: BeritaSiber.com