BERITASIBER.COM | DIY – Pada 15 Januari 2024 lalu, sebanyak 2000 pedagang kaki lima yang berjualan di zona II Candi Borobudur diperintahkan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko untuk segera keluar dari lokasi tersebut.

Hal itu tidak terlepas dari arahan yang dikeluarkan oleh UNESCO agar zona II Candi Borobudur bebas dari aktivitas komersil apapun.
Disinyalir, akibat masifnya aktivitas komersil di zona II Candi Borobudur menyebabkan koefisien dasar bangunan (KDB) dari candi telah melampaui batas presentase yang ditetapkan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dibuat pada tahun 1979. Ribuan pedagang tersebut rencananya akan direlokasi ke Pasar Seni Kujon yang merupakan Proyek Strategis Nasional.
“Namun dengan menuduh pedagang kaki lima sebagai penyebab utama terganggunya KDB Candi Borobudur, tentu rasanya tidak adil. Sebab, di zona II juga berdiri sebuah bangunan komersil yakni Hotel Manohara milik PT. TWC. Apabila ditelisik lebih jauh, maraknya aktivitas komersil di zona II Candi Borobudur merupakan ekses dari buruknya tata kelola candi bahkan sebelum ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO,” kata Dwias Panghegar, Perwakilan dari Paguyuban Daulat Borobudur, Rabu (7/8/2024).
Sebagai dasar penominasian Candi Borobudur kedalam daftar warisan dunia UNESCO, Indonesia dibantu oleh JICA merumuskan zona pelestarian bagi kawasan Candi yang terdiri dari 5 (lima) zonasi.
Kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 tahun 1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur dan Candi Prambanan serta Pengendalian Lingkungan Kawasannya (Keppres 1/1992).
Setelah itu dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UU 5/1992) serta peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993.
Dari deretan regulasi di atas, secara normatif pengelolaan kawasan Candi Borobudur dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur pada zona I, PT. TWC untuk zona II dan Pemerintah Kabupaten Magelang di zona III-V.
Namun implementasinya di lapangan membingungkan para pengelola dan masyarakat apakah akan menggunakan Kepres 1/1992 atau master plan JICA. Sebagian muatan Keppres 1/1992 juga tidak sesuai dengan UU 5/1992 terkait konsep pemintakan candi.
“Sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara, PT. TWC berkepentingan untuk memaksimalkan sebesar-besarnya keuntungan ekonomi yang bisa dihasilkan oleh Candi Borobudur. Disisi lain, sebagai sebuah badan konservasi, kepentingan utama Balai Konservasi Borobudur adalah menjaga kelestarian candi,” ungkapnya.
Dua kepentingan ini yang sejak dulu terus berseberangan. Antara pariwisata dan konservasi. Namun pertengkaran itu layaknya pertarungan dua gajah di atas padang rumput. Dalam hal ini, rakyat miskinlah yang menjadi rumputnya.
Di era Joko Widodo, Candi Borobudur ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang diharapkan akan mampu menjadi lokomotif baru perekonomian negara.
“Berbagai infrastruktur dibangun menggunakan label Proyek Strategis Nasional untuk mendukung ekosistem DPSP tersebut. Diantaranya, Bandara Internasional di Yogyakarta sebagai wahana pendaratan bagi wisatawan dan Bendungan Bener di Purworejo sebagai penyedia air kawasan di Borobudur yang akan terus dikembangkan,” sambungnya.
Untuk membangun dua proyek raksasa tersebut setidaknya harus menggusur terlebih dahulu rakyat dan petani yang ada di Kulonprogo dan Purworejo.
“Setali tiga uang dari dua proyek di atas, penggusuran yang dialami oleh pedagang kaki lima Borobudur menambah deret panjang penggusuran di bawah nama besar Proyek Strategis Nasional,” katanya.
Setelah digusur, saat ini terdapat ratusan pedagang kaki lima Borobudur yang nasibnya masih terombang ambing. Rencana relokasi mereka ke Pasar Seni Kujon juga mengalami beberapa permasalahan.